Kamis, 26 Oktober 2017

Awal munculnya kereta pada abad 19 sekitar tahun 1910-an. Pada tahun itu munculnya lokomotif uap yang kurang bersih dan lokomotif diesel. Seiring berjalannya waktu, kereta lokomotif dan diesel telah digantikan oleh kereta.
Banyak orang yang saat naik kereta itu tidak mau mengalah dengan orang lain, terkadang juga kursi untuk orang prioritas seperti ibu hamil, ibu bawa bayi dan orang yang kekurangan itu tidak di gunakan dengan baik, masih saja banyak yang diduduki orang tidak yang seperti disebutkan. Yang paling menjengkelkan itu kereta suka gangguan membuat banyak orang jadi semakin membuang waktunya, dan itu juga membuat kereta semakin penuh di dalamnya.

Padahal di dalam kereta itu sudah penuh sekali tetapi banyak sekali penumpang yang selalu memaksakan untuk masuk ke dalam bahkan sampai ada orang yang terjatuh karena terlalu memaksakan diri. Yang membingungkan itu kereta datang 10 menit sekali tetapi tetap saja kereta penuh terus terutama di jam 6-8 pagi.

PUISI

Kereta

kau adalah transportasi
di pagi hari kau selalu menjemputku
saat pulang kau mengantarku
roda mu sangat banyak

sungguh panjang badanmu
kau selalu membawa penumpang
sampai ke tujuannya
cuaca buruk tidak membuatmu berhenti berjalan

Banyak orang yang menantikan kedatanganmu
walaupun kedatanganmu itu lama
kau selalu dinantikan oleh kami
dan dari dalamnya kami bisa melihat sebuah pemdangan








Minggu, 22 Oktober 2017

Komunitas Sastra


     Akhir dekade 1980-an banyak muncul komunitas-komunitas sastra di daerah. Gejala ini menandai bahwa kegiatan sastra tidak lagi terpusat di kota besar seperti Jakarta, Bandung atau  Yogyakarta. Munculnya komunitas-komunitas sastra di daerah ini selain ditandai dengan aktivitas menulis, membaca puisi dan diskusi dari para pendukungnya, juga diikuti dengan penerbitan (buletin maupun kumpulan puisi) yang diusahakan sendiri. Buletin-buletin sastra, baik yang berupa fotokopi maupun cetakan,  terbit di Lampung, Jambi, Palembang, Padang, Pekanbaru, Denpasar, Makassar, Banjarmasin di samping kota-kota kecil di Pulau Jawa. Majalah sastra Horison yang sampai dekade 1980-an masih merupakan barometer perkembangan kesusastraan Indonesia, menjadi hanya salah satu (bukan satu-satunya) media sastra yang menjadi orientasi para penulis muda. Jurnal  Citra Yogya dari Yogyakarta, Cak dari Denpasar, Kolong Budaya dari Magelang, Menyimak dari Riau, Lingkar dari Serang atau Puitika dari Tasikmalaya misalnya, meski bentuknya sangat sederhana namun cukup “berwibawa” hingga banyak penyair dari daerah lain yang merasa bangga jika puisinya dimuat di sana.
            
          Bukan hanya buletin atau jurnal, kumpulan puisi pun banyak diterbitkan oleh komunitas-komunitas sastra di daerah. Dari Lampung muncul sejumlah kumpulan puisi, begitu juga dari Palembang, Padang, Malang dan Denpasar. Peta kepenyairan nasional pun tak hanya diisi oleh nama-nama dari Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, namun juga dari Ngawi, Malang, Gresik, Cirebon, Tasikmalaya, Magelang, Sumenep, Makassar maupun Denpasar. Perkembangan seperti ini jelas menggembirakan karena wilayah kesusastraan yang selama ini hanya berada di kota-kota besar yang ada fakultas sastranya, menjadi melebar ke daerah-daerah yang sebelumnya tak terbayangkan. Fakultas sastra pun ternyata bukanlah ukuran marak tidaknya kesusastraan di suatu daera
 

Welcome To my Blog Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang